14, Apr 2025
Singapura Perluas Aturan Label Gizi ke Mi Instan & Bumbu Dapur: Indonesia Kapan?

Jakarta, April 2025 — Pemerintah Singapura kembali menunjukkan komitmennya dalam mengedepankan kesehatan publik. Kali ini, lewat kebijakan baru yang memperluas cakupan pelabelan nilai gizi pada produk pangan olahan, termasuk mi instan dan bumbu dapur — dua jenis produk yang sangat digemari masyarakat Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Kebijakan ini resmi berlaku mulai pertengahan April 2025, menyusul peraturan sebelumnya yang lebih dulu mengatur label gizi pada minuman manis dan produk susu olahan. Tujuannya jelas: memberi informasi transparan bagi konsumen dan menekan angka penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas, yang cenderung meningkat di kawasan urban.


Label “Nutri-Grade”: Skor Gizi di Kemasan Produk

Melalui sistem bernama Nutri-Grade, setiap produk olahan akan mendapat penilaian A sampai D berdasarkan kandungan gula, garam, dan lemak jenuhnya. Produk dengan skor D wajib menampilkan label peringatan khusus dan dilarang mengiklankan diri sebagai makanan “sehat” atau “alami”.

Mi instan dan bumbu dapur, yang kerap dikritik karena kandungan natrium (garam) dan lemaknya yang tinggi, menjadi target utama fase perluasan ini.

“Masyarakat berhak tahu apa yang mereka konsumsi. Dengan label gizi yang jujur dan mudah dipahami, keputusan belanja jadi lebih sehat,” ujar Menteri Kesehatan Singapura, Ong Ye Kung, dalam konferensi pers peluncuran aturan baru ini.


Imbas ke Produk Ekspor RI: Siap atau Tidak?

Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar mi instan dan bumbu dapur ke Singapura dipastikan terdampak. Produk-produk dari merek ternama seperti Indomie, Mie Sedaap, dan berbagai bumbu masak lokal kini harus memenuhi standar pelabelan Nutri-Grade jika ingin tetap bersaing di rak-rak supermarket negeri tetangga tersebut.

Beberapa produsen dalam negeri telah bersiap dengan desain ulang kemasan dan formulasi ulang produk agar mendapat skor gizi yang lebih baik. Namun, tantangan tetap ada — terutama bagi UMKM pangan yang selama ini belum terlalu akrab dengan regulasi ekspor yang ketat.


Indonesia: Tertinggal atau Lebih Fleksibel?

Di sisi lain, Indonesia sendiri belum menerapkan sistem pelabelan nilai gizi secara menyeluruh pada produk olahan. Label gizi memang sudah diwajibkan, namun belum ada sistem penilaian visual sejelas Nutri-Grade.

Kapan Indonesia menyusul? Pertanyaan itu mulai ramai dibicarakan, terutama di kalangan aktivis gizi dan kesehatan masyarakat. Di tengah meningkatnya konsumsi makanan olahan, banyak yang menilai sudah waktunya Indonesia mengadopsi sistem penilaian gizi yang lebih transparan dan edukatif bagi konsumen.

“Kita bicara soal perubahan gaya hidup dan kesehatan jangka panjang. Label yang informatif bisa jadi senjata penting melawan tren penyakit metabolik,” ujar Dr. Zulaikha Adiningsih, pakar nutrisi dari IPB University.


Konsumen Semakin Sadar, Produsen Harus Adaptif

Tren global jelas: konsumen makin peduli dengan apa yang mereka makan. Tak hanya soal rasa dan harga, tapi juga dampaknya bagi kesehatan. Pelabelan gizi bukan lagi sekadar formalitas, melainkan bagian dari gaya hidup sadar konsumsi.

Singapura mungkin bukan negara besar secara geografis, namun langkah-langkah regulatifnya kerap menjadi acuan di kawasan Asia Tenggara. Indonesia bisa menjadikannya sebagai cermin — bukan untuk meniru mentah-mentah, tetapi sebagai dorongan untuk berinovasi secara lokal demi kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *